Kamis, 08 April 2010

Please Say Yes!

Please Say Yes.

A LavixLenalee fic


Disclaimer: D.Gray-Man © Katsura Hoshino



Lenalee’s PoV :

Kala aku mencoba merasakan hangatnya mentari pagi, yang kurasakan adalah kehangatanmu. Senyummu. Kala aku mencoba meraih awan yang tinggi, kau lebih dulu meraih tanganku. Membawaku dalam dekapanmu. Aku merasa tenang di sisimu.
Aku ingin terbang. Bersama kebahagiaan yang begitu indah ini. Bersamamu. Aku ingin membalas semua kebaikanmu. Walaupun kau berkata itu tak perlu.
Biarkan aku mengukir lebih banyak kenangan. Aku ingin berarti. Walaupun hidupku sesingkat ini.
Hari-hariku diisi dengan duduk termenung di atas tempat tidur. Gerakanku terbatas. Seakan hidup ini selalu bergantung pada orang lain. Yang dapat kulakukan sendiri hanyalah bernapas dan menggerakkan anggota tubuhku sedikit demi sedikit.
Tahukah kau, aku ingin mengejarmu lagi. Dengan kakiku sendiri. Seperti dahulu.
“Lenalee!”
Sepasang telapak tangan menghalangi pandanganku. Kuraba pelan tangan itu. Hangat.
“Lavi?? Sudah ah,” tebakku. Orang itu mendengus.
“Yaahh, Lenalee. Kenapa sih kamu selalu tahu itu aku?”
“Kebiasaan tahu. Hahaha.”
“Huh.”
Begitulah kamu. Seseorang yang selalu memperlakukanku berbeda. Jadi bagaimana mungkin aku tidak tahu bahwa itu kamu, Lavi ?
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” Lavi menyentuh dahiku. Kutepis tangan itu. Ayolah aku tidak sedang demam kok.
“Apa sih? Memangnya aku tidak boleh senyum? Harus nangis terus begitu??”
“Hehehe.”
Kau hanya tertawa seperti biasa. Biasa namun aku menyukainya.
Pemuda berambut merah itu duduk di tepi kasurku. Kau bersenandung kecil. Merdu. Mengiringi semilir angina yang melantunkan baladnya.
“Bagaimana sekolahmu, Lavi?” tanyaku pelan. Kau mengangkat wajahmu.
“Hmm, membosankan. Kanda masih suka marah-marah sendiri sama Allen. Miranda tetap jadi penjaga klinik. Krory masih sama Eliade. Tak ada yang berubah.” Senyum kecil di sudut bibirmu membuatku ikut tersenyum.
“Rupanya tak ada akupun, semua akan baik-baik saja ya?”
Kau bergeser dari tempat dudukmu dan mendekatiku. Tangan besarmu mengelus kepalaku. Lagi-lagi kau tersenyum.
“Bodoh, itu tidak benar,” jawabmu lembut.
Aku kembali tersenyum. Tak tahu apa yang harus aku katakan selanjutnya.
Kau membetulkan selimutku.
“Kau sendiri? Bagaimana kesehatanmu?”
“Kurasa semakin baik.”
Hening setelah pembicaraan singkat itu. Hening yang nyaman. Dimana hanya ada aku dan kau yang menyayangiku.
Kusentuh eye-patch di mata kananmu. Kaupun menyentuh punggung tanganku itu. Aku tahu Lavi, di balik penutup ini tersimpan sebuah luka.
“Bertengkar lagi, Lavi? Kau selalu menutupi matamu dengan eye-patch…”
“Eh, yaah…”
Aku tahu itu berarti ya, Lavi.
“Lavi, tolong antar aku ke halaman depan. Aku bosan.”
Kau mengangguk. Dengan sigap kau menyiapkan kursi rodaku yang juga telah bosan berada di posisi itu. Kukibaskan selimutku. Ingin aku berdiri sendiri, tapi kakiku terlalu lemah. Bergerak sedikit saja tak mampu.
“Tak usah memaksakan diri, Lenalee,” Kau menggendongku dengan dua lengan kekarmu. Tanpa peduli pada reaksi kagetku. Wajah ini pasti begitu merah.
“La, Lavi??” Aku sedikit meronta. Tapi kau tidak bereaksi. Hanya tersenyum lembut. Tak ada yang dapat kulakukan selain memeluk lehermu agar aku tak terjatuh.
“Yap. Kau perlu selimut kan, Lenalee?” Kau mendudukkanku di kursi roda. Aku mengangguk pelan.
Selimut berwarna pink itu telah kau balut di atas kakiku yang penuh perban. Ayo, kita ke halaman depan! Aku sudah tak sabar melihat dunia luar.
“La, Lavi.”
“Ya, Lenalee?”
“Maaf selalu merepotkanmu.”
“Tak usah kau pikirkan.”
“Ta, tapi…”
“Sudahlah Lenalee. Aku akan melakukan apapun untukmu, orang yang paling ku cintai. Apalagi hanya segini, aku bisa melakukan semua ini seratus kali lipat!”
“…”
“Lenalee? Apa aku mengatakan sesuatu yang salah??”
Tidak. Ah, aku tak tahu kau mendengar jawabanku atau tidak. Tapi percayalah tak ada satupun yang salah dari kalimatmu. Aku senang mendengarnya.
“Le, Lenalee? Maaf lagi-lagi membuatmu menangis. A, aku..” katamu gugup.
Rupanya butiran bening itu kini mengalir mengikuti lekuk wajahku. Aku menangis. Tapi aku menggeleng untuk menutupinya.
Aku berusaha menghilangkan garis yang membekas di wajahku. Tak ingin terlihat jelek di matamu. Akan kutunjukkan yang terbaik.
Roda-roda di kursi ini berhenti kala kita telah sampai di bawah pohon rindang di halaman. Daun yang menguning jatuh perlahan. Terbawa angin entah sampai ke mana.
Kubuka tanganku. Sehelai daun mendarat di sana. Entahlah. Aku tak merasakan apapun. Hampa. Tanpa sesuatu yang berarti.
“Merasa lebih baik?” tanyamu sambil membungkukkan badanmu agar sejajar denganku.
Aku hanya tersenyum lemas. Dan kau pasti tahu itu berarti ya.
Sekarang kau bertekuk di depanku. Hijau matamu begitu mempesona saat bertemu dengan mataku yang sayu. Kau memandangi wajahku yang selalu pucat.
“Lenalee…” kau menyentuh pipiku lembut. Aku hanya menatapmu dengan penuh tanya. “Aku… aku ingin mengatakan sesuatu.”
“Apa itu?” tanyaku. Pendengaranku menangkap sebuah bunyi keras dari dadamu. Senada dengan detak jantung ini. Kurasakan gugup yang menyerang batinku. Serangan yang lembut. Mungkinkah…?
Kau masih saja diam. Tak ada satu katapun untuk menyambung kalimatmu tadi. Kau kembali mengangkat wajahnmu. Terlihat sedikit guratan kecil di sana.
“Aku suka padamu, Lenalee. Dan aku ingin kau menjadi pa…”
Kuletakkan telunjukku di bibirmu. Tak akan ku biarkan kau melanjutkan kalimat menyedihkan itu. Tak akan, Lavi.
“Cukup. Percuma kau mengatakan itu, Lavi. Lihat kondisiku. Aku sakit parah sekarang. Bahkan umurku tinggal hitungan minggu. Aku takkan bias membahagiakanmu. A, aku…”
Air mataku tumpah lagi. Kau memelukku erat. Tak membiarkanku histeris sendiri.
“A, aku takut, Lavi.”
Hanya itu yang keluar dari bibirku yang pilu. Kau mengeratkan pelukanmu.
“Kau tak perlu takut.”
“Bagaimana mungkin aku tidak takut? Sebentar lagi aku akan mati. Kau lihat sendiri, aku tak bisa berjalan atau bergerak sedikit saja. Aku selalu membuat kak Komui sedih. Aku selalu membuatmu repot,” bibirku terus bicara. Aku mengeluarkan semuanya disini. Batinku selalu tersayat melihat kak Komui menitikkan air matanya kala mendengar kesehatanku yang tak kunjung membaik. Atau melihat Lavi yang terpaksa membatalkan janjinya pada Allen dan Krory kala tahu tak ada yang menemaniku di rumah. “Jika aku pergi, aku tak ingin kau menyesal telah menyukaiku,” Sambungku.
Dengan pelan kau melepaskan pelukanmu.
“Lihat aku, Lenaleee!”
Aku tertegun melihat sosok lembut di hadapanku ini tiba-tiba membentakku.
“Aku tak pernah menyesal! Aku menyukaimu, mencintaimu. Dan itu artinya aku siap dengan segala resiko. Aku tak peduli apa yang telah dokter katakan padamu. Tapi inilah aku!!”
Aku benar-benar kehabisan kata-kata. Sinar matanya bilang, bahwa kali ini ia jujur. Tanpa sedikitpun kebohongan.
Kau membuka eye-patch-mu. Di balik itu ada sebuah luka besar yang mulai menutup. Memori-memori itu kembali membayangiku. Memori yang hilang.
Aku ingat. Kala itu aku dan kau pulang sekolah bersama. Hari itu adalah hari ulang tahunku. Karena itu kau memberiku hadiah berupa boneka bulat dengan sayap lembutnya. Aku memberinya nama Timcanpy.
Namun karena kecerobohanku, boneka itu terlempar ke tengah jalan. Aku berlari ingin mengambilnya. Kau sudah melarang, tapi aku tetap ingin mengambilnya.
Saat aku meraih boneka kecil itu, sebuah bunyi keras menghatam telingaku. Kulihat sebuah mobil melaju dengan kencangnya. Kau mengejarku. Ingin mendorongku agar tak tertabrak. Namun terlambat. Kita berdua tertabrak keras oleh mobil itu. Kau terluka di bagian mata kirimu. Dan aku… aku kehilangan indera perabaku. Aku kehilangan kemampuan berjalanku.
“Maafkan aku, Lavi.”
“Ini bukti bahwa aku siap mengahadapi semuanya. Aku siap melindungimu. Aku memang gagal. Tapi rasa cintaku padamu takkan berubah bagaimanapun kondisimu.”
“La, Lavi…”
Kali ini aku yang memelukmu.
Aneh. Meskipun indera perabaku tak begitu peka lagi., aku tetap merasakn kehangatan yang pasti dari dirimu.
“Aku juga mencintaimu… La…”
Kalimatku tertahan oleh sesuatu. Sedetik kemudian aku baru sadar, Lavi menciumku.
Aku tak mengerti apa yang aku rasakan. Aku bahagia karena Lavi membalas perasaan ini. Namun aku juga sedih mengingat tak banyak kebahagiaan yang akan aku dapatkan. Biarlah. Akan tetap kujalani!

Lavi’s PoV:

Tak dapat lagi ku nikati senyummu. Tawamu yang selau mengobati canduku. Semua bagian darimu yang mampu menenggelamkanku dalam rasa bahagia. Bahagia karena kaulah milikku.
Aku tak tahu ciuman itu adalah ciuman kita yang pertama dan juga yang terakhir.
Ketika malam menyelinap. Aku memutuskan untuk pulang. Mengingat tugasku di rumah belum selesai.
Aku bilang padamu, aku akan segera kembali. Dan kau menjawab bahwa kau akan menugguku.
Sebelum pergi, ku kecup keningmu. Pipimu merona dengan manisnya. Tahukah kamu, saat itu aku sangat bahagia? Namun aku juga merasa kebahagiaan itu akan segera hilang. Kuhalau pikiran itu. Aku ingin kau terus bersamaku.
Tapi belum genap langkahku saat memasuki rumah, handphone-ku berdering. Benar saja. Terdengar suara Komui yang bergetar di sana. Ia bilang…
“Lenalee telah pergi…”
Entah aku harus bilang apa padamu.
Namun inilah rintangannya. Aku bilang aku siap. Maka aku takkan menangis.
Selamanya.
Aku mencintaimu.
Lenalee Lee.


-------Tamat--------



0 komentar:

Posting Komentar